Friday, March 16, 2012

Praktik jual-beli Buku di sekolah, dalam sebuah timbangan hukum


Guru menjual buku? sebenarnya praktik tersebut sudah lama ada di sekolah-sekolah, bahkan sejak penulis masih sekolah di tingkat SMA dulu, hal tersebut sudah lama ada. Namun akhir-akhir ini hal mencuat kembali sehubungan adanya tudingan miring kepada oknum guru yang melakukan praktik jual-beli buku disekolah, bisa dianggap sebagai gratifikasilah, korupsi, haram dsb. Tulisan ini sedikit mengulas kembali  kontroversi praktik jual-beli tersebut, karena meskipun praktik jual-beli buku disekolah sudah dilarang pemerintah melalui permendiknas  No.11 tahun 2005, namun harus diakui praktik tersebut masih dijalankan secara luas disekolah-sekolah meski dengan model yang lebih halus. Di tingkat masyarakat sendiri, sudah kadung menjadi sebuah pencitraan jelek terhadap guru, bahwa guru yang menjual buku disekolah adalah guru mata duitan, tukang keruk dan sebagainya.  Namun, seiring dengan perkembangan sebenarnya perlu pengkajian yang adil dan berimbang dengan masalah ini. Tidak saja agar citra sekolah dan guru tidak semakin tercoreng, namun mencakup status penghasilan yang didapat guru dari praktik jual beli buku disekolah dalam timbangan agama, halal atau haram. Apakah termasuk kategori gratifikasi atau tidak, menyimpang atau tidak. Juga agar masyarakat bisa memahami segi positif dan negatif dari praktik jual-beli buku disekolah. Sebab, sebagai warga negara yang baik dan manusia yang beriman para guru perlu kejelasan status dari penghasilan / uang yang didapat dari raktik jual beli buku disekolah. 



MODUS PENJUALAN BUKU

Sebenarnya yang terjadi, guru tidaklah menjual buku. Namun sales dari penerbit bukulah yang menjual buku. Penerbit buku menurut saya mempraktekkan sistem penjualan langsung ( direct selling ), yakni menjual produk ke konsumen secara langsung tanpa melalui pasar atau toko. Sistem semacam ini lazim dilakukan produk-produk MLM seperti CNI, Tupperware dan semisalnya. Jadi sales menjual langsung ke konsumen door to door. Pada kasus jual beli buku disekolah, guru berperan mirip distributor, atau bahkan makelar. Di sinilah bisa terjadi tawar-menawar fee. Penerbit biasanya memberikan komisi bervariasi dari 25 % hingga 40 % dari keseluruhan nilai transaksi buku, jika guru yang bersangkutan mau menggunakan buku mereka sebagai buku wajib atau buku pegangan. Sebagai gambaran seorang X mengajar 4 kelas paralel dengan keseluruhan siswa 160 siswa, dan semuanya membeli buku pelajaran terbitan cv.Y seharga 50 ribu perbuku. Dan menurut perjanjian guru X mendapatkan komisi 35 %. sehingga total transaksi adalah Rp. 50.000 x 160.000 = Rp.8000.000. Fee yang akan diberikan penerbit ke guru X ( karena merekomendasikan buku terbitan cv.y ) 35 % x Rp. 8000.000 = 2800.000. Lalu apakah siswa dirugikan? Pada dasarnya tidak, aturan saat ini buku teks pelajaran harus mencantumkan HET          ( harga eceran tertinggi ), wal hasil adanya HET tersebut perbedaan harga ( disparitas ) antara membeli di toko buku nyaris tidak ada. Adanya HET dapat meminimalisir penggelembungan harga jika dibeli di sekolah. Sehingga dalam hal ini sekolah atau guru berperan sebagai distributor.

DAMPAK NEGATIF


Dampak negatif yang bisa terjadi adalah, dengan motif mendapatkan keuntungan, seorang oknum guru dapat menekan dan memaksa anak untuk membeli buku yang mungkin harganya sangat ma hal, padahal ada buku teks yang lebih murah. Di sinilah siswa dan wali murid akan menjadi korban komersialisasi oleh guru yang bersangkutan. Di samping itu guru bisa kehilangan profesionalismenya dalam mengajar.

DAMPAK POSITIF

Sebenarnya ada segi positif yang bisa diambil dari praktik jual-beli disekolah, dampak ini perlu saya angkat agar masyarakat juga bisa memahami, dan tidak terlalu berprasangka negatif terhadap guru. Sebenarnya dengan mengkoordinir pembelian paket, pihak sekolah telah memudahkan para siswa untuk mendapatkan buku paket teks pelajaran yang bermutu. Di samping itu para penerbit dan produsen buku juga lebih mudah dan cepat dalam memasarkan produk mereka. Di sinilah sebenarnya ada simbiosis mutualisme antara penerbit dan pihak sekolah. Memang akhirnya terjadi kompetisi antara penerbit satu dan yang lain, sehingga semuanya menawarkan bagi hasil yang tinggi dengan pihak guru dan sekolah. Namun dengan adanya HET buku layaknya produk farmasi, hal tersebut bisa ditepis. Menurut saya untuk beberapa daerah yang letaknya jauh dari perkotaan besar yang memiliki toko buku layaknya gramedia, sulit mendapatkan buku-buku teks pelajaran bermutu, karena tidak adanya toko buku. Apalagi para pihak penerbit memang tidak menyalurkan produknya lewat toko buku didaerah terpencil. Yang ada justru agen-agen, bukan toko buku. Agen tentu tidak menjual buku eceran namun sistem partai. Nah disinilah timbul polemik, jika siswa beruasaha sendiri membeli buku diluar sekolah, belum tentu mudah mendapatka buku yang diinginkan. bahkan bisa terjadi buku ditoko jauh lebih mahal jika dibeli lewat sekolah.

GURU JUAL-BELI BUKU, HARAM?

Sub judul diatas tentu mengundang tanya? memang, kadung dimasyarakat sudah ada stigma negatif yang menyamakan praktek jual buku sebagai tindakan korupsi dan gratifikasi. Saya kira ini perlu ada penjelasan dari pihak terkait ( ulama ) agar perlu ada fatwa yang jelas tentang apa yang di stigmakan sebagian masyarakat tersebut. Untuk para guru, hal ini perlu juga dikaji ulang dalam sudut pandang agama, karena para guru juga perlu evaluasi diri. Namun, bagi saya ada beberapa poin yang perlu dan menjadi bahan pemikiran untuk kita semua :

  1. Pada dasarnya prinsip jual-beli itu di halalkan dalam islam. Kecuali jika dalamnya ada praktik penipuan, pemaksaan, dan kerugian bagi satu pihak, jelas dilarang.
  2. Sehingga,...sampai disini pada prinsip dasarnya, praktek jual beli buku disekolah  adalah menurut saya boleh sepanjang tidak ada pemaksaan, penipuan dan kerugian pada satu pihak.
  3. NAMUN, .....pihak sekolah dan para guru juga harus memperhatikan, pemerintah secara formal telah melarang praktik jual beli disekolah yakni melalui permendiknas no 11 tahun 2005. Sehingga, sebenarnya penjualan buku, apalagi mewajibkan siswa untuk membeli adalah illegal dan melawan hukum. Dalam agama juga kita diwajibkan Taat pada Ulil amri      ( pemerintah ). Permendiknas itu dapat di download DISINI . Petikan pasal 9:
                                                                   Pasal 9
Guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik.

Petikan pasal 12. :
                                                                  Pasal 12

 (1)
Guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah yang terbukti memaksa dan/atau melakukan penjualan buku kepada peserta didik dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Penerbit yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, dikenakan sanksi administratif oleh Menteri berupa pencabutan rekomendasi hasil penilaian.
 



FEE = GRATIFIKASI=KORUPSI ?

Dengan adanya peraturan peerintah, sebaiknya para guru juga berhati-hati tentang fee yang diterima dari penerbit, bagaimana pun mekanismenya. sebab bisa saja ditafsirkan sebagai gratifikasi. Meskipun sampai saat ini belum ada kasus yang menyangkut gtaifikasi dari jual beli buku teks pelajaran disekolah yang termuat di media.




KOMENTAR FACEBOOK ANDA