Saturday, June 16, 2012

GURU SMP/SMA JADI GURU SD? DILEMATIKA DAN PROBLEM PROGRAM PENATAAN GURU NASIONAL.




Sebanyak 500 guru SMP dan SMA akan di mutasi menjadi guru SD. Demikian yang akan terjadi di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Hal tersebut diungkapkan Kepala  Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Karanganyar , Sri Suranto, Rabu (6/6/2012). Menurutnya langkah ini sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Lima Menteri Nomor 5 tahun 2011 Tentang Penataan Guru PNS.
Disdikpora Karanganyar akan memindahkan 500 guru SMA dan SMP ke SD yang kekurangan tenaga pengajar sejalan dengan imbauan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Bagi para guru yang nantinya menolak akan mendapat sanksi berupa dipindahkan ke kabupaten lain. Hampir di seluruh Indonesia rata-rata kekurangan guru SD, sehingga keluarlah kebijakan ini dan di Karanganyar akan mulai diterapkan tahun ajaran nanti,” ujarnya.

Karena itu, Sri Suranto menjelaskan terus melakukan pematangan kebijakan termasuk melakukan sosialisasi ke para guru.
Apa yang terjadi di Kabupaten karanganyar agaknya juga akan diberlakukan di daerah - daerah lain. Hal ini dilakukan untuk memenuhi surat keputusan bersama lima menteri no 5 tahun 2011 tentang penataan dan pemerataan guru PNS. SK bersama ini mengamanatkan agar setiap pemerintah daerah dan satuan pendidikan agar menata dan memeratakan jumlah guru disetiap jenjang dan setiap daerah. Sebab, saat ini ditengarai terjadi ketimpangan jumlah guru di daerah satu dengan daerah lain. Misalnya di kota, jumlah guru menumpuk dan jumlah guru berlebih, sedangkan di pelosok justru kekurangan guru. Di samping itu SK Bersama ini juga sebenarnya bertujuan  untuk menjamin persyaratan 24 Jam mengajar guru bersertifikasi.

Dalam juknisnya, sebenarnya SKB lima menteri ini menyiratkan berbagai bentuk macam/model pemerataan. Yakni antar jenjang. Dalam satu jenjang dan antar daerah. Pemelaran jumlah wajib mengajar yang dulu 18 Jam Pelajaran menjadi 24 Jam mengajar tentu saja berdampak pada  berlebihnya jumlah guru. Sebagai contoh,:

" sebuah sekolah SMA X yang mempunyai 16 rombel  dengan jumlah total jam biologi diseluruh tingkat tersedia 36 jam, sedangkan jumlah guru mapel biologi 2 orang, jika mengacu aturan lama ( wajib mengajar 18 JP ), maka masing-masing guru sudah cukup. Dengan adanya aturan baru yang mengharuskan kewajiban 24 JP ), maka SMA X tersebut kelebihan satu orang guru. Dengan rincian 1 orang 24 jam, satu orang lagi hanya 12 JP."

Dalam penerapannya, timbul sebuah dilematika bagaimana jika suatu daerah, secara akumulatif kelebihan guru mapel tertentu. Menurut Juknis SK Bersama 5 menteri ini kelebihan guru mapel tertentu bisa diatasi dengan 2 solusi :

1. Di mutasi keluar daerah ke daerah yang kekurangan guru mapel tersebut. Mutasi tersebut bisa antar kabupaten dalam satu propinsi atau antar kabupaten lain provinsi.

2. Bisa juga antar jenjang, misal dari guru SMA ke SMP atau Guru SMP ke SD dalam satu daerah.

Solusi atau alternatif pertama, mempunyai potensi problem sosial yang cukup tinggi, sebab sebagian besar guru, apalagi yang telah berkeluarga telah mapan secara sosial. Jika harus di mutasi keluar daerah, itu berarti banyak problem yag bisa terjadi, misal terpisah dengan keluarga, belum lagi problem ditempat yang baru.  Hal ini rentan terjadi permasalah sosial, mental dan psikologi guru yang bersangkutan, meski jauh-jauh hari para PNS sudah menanda tangani kesediaan " ditempatkan dimana saja".

Oleh karena itulah mungkin, mengapa banyak kepala daerah seperti yang terjadi di Kabupaten karanganyar Jawa Tengah dan daerah lain di pulau jawa, seperti KAB BANTUL, kota surabaya dan Kabupaten Ngawi, lebih menekankan untuk "nggandoli" para guru yang berpotensi termutasi, agar tidak sampai  keluar daerah. Caranya adalah memilih alternatif antar jenjang, yakni memutasikan kelebihan guru di SMP dan SMA ketingkat SD. Apalagi sejak adanya moratorium pengangkatan CPNS, kekurangan guru SD di beberapa daerah semakin besar. Dalam juknis penataan guru, sebenarnya hal ini dimungkinkan untuk dilaksanakan. Masalahnya proses mutasi ini ( Guru SMP/SMA ke SD ) berpotensi menimbulkan masalah baru dan harus dipecahkan dikemudian hari :
  1. Jika guru yang di mutasi ke SD tersebut adalah guru MAPEL apakah hal tersebut bisa mengakibatkan terputusnya TPP. Mengingat hanya 2 mata pelajaran saja yang langsung match jika guru ybs di mutasi ke SD, yakni guru Agama Islam dan PenjaskeS. Guru MAPEL Jelas sertifikasinya berbeda dengan guru kelas. Maka jika dipaksa mengajar di SD jelas antara tugas mengajar dengan ketentuan sertifikat profesinya berbeda.
  2. Bagaimana nasib guru honorer yang sudah mengajar di SD, apakah mereka harus tergusur?
 Memang, sekarang ini lagi di promosikan program KKT ( Kependidikan Kewenangan Tambahan ). Masalah nomer satu di atas, bisa diatasi jika guru mendapatkan sertifikat kewenangan tambahan ( KKT ) misal nya Guru Mapel dengan kewenangan mengajar SD. Namun demikian hal ini masih mengundang problem yang di tuntaskan seperti, apakah jika memiliki sertifikat KKT tersebut masih diharuskan mengajar pelajaran pokoknya ( MAPEL ) tentu saja mengajar pelajaran di dua jenjang ( SMP/SMA dan SD ) sulit untuk membagi waktu dan konsentrasi? Semoga semua itu ada solusinya....

KOMENTAR FACEBOOK ANDA